12.5.13

2 HAL YANG MEMBATALKAN PUASA


التقريرات السديدة فى المسائل المفيدة زين بن ابراهيم بن زين بن سميط ص 448 دار العلوم الاسلامية - سورابايا
Perkara yang mebatalkan puasa hanya ada dua;
1) مُحْبِطَاتْ (perkara yang melebur pahala puasa) : yaitu perkerjaan yang dapat menghapus pahala puasa (have not reward) tapi puasanya tetap sah/jadi/dianggap. Dirinya hanya menahan rasa lapar dan haus namun dia tetap berkewajiban melanjutkan puasanya sampai tuntas. Lebih berat lagi dosanya apabila ia sampai tidak puasa (berhenti ssebelum tibanya azan Maghrib).
Adaapun perkara yang melebur pahala puasa tersebut adalah;
a. Ghibah
b. Namimah (mengalihkan atau memindahkan perkataan dengan tujuan menimbulkan fitnah)
c. Dusta
d. Melihat sesuatu yang diharamkan atau melihat sesuatu yang halal dengan disertai syahwat
e. Sumpah dusta
f. Ucapan yang jorok

2) مُفَطِّرَاتْ (perkara yang membatalkan puasa)
Adapun perkara yang yang membatalkan puasa ada delapan;
1. Murtad (keluar dari Islam) baik melalui hati, perkataan yang menyebabkan kafir, dan atau melalui tindakan.
2. Haid, nifas, dan melahirkan
3. Gila walaupun sebentar (hilangnya perasaan serta adanya kekuatan untuk bergerak). Tidak termasuk dalam hal ini, tidur.
4. Semaput atau mabuk sepanjang hari.
Kalau hanya sebentar maka puasanya tetap sah menurut pendapatnya Imam Romly.
5. Berhubungan badan.
Kalau hal ini terjadi, maka pelakunya harus;
a. Dosa, sudah jelas
b. Wajib imsak/menahan untuk tidak makan (tidak boleh makan sampai tiba azan Maghrib, walaupun puasanya tidak dianggap)
c. harus di beri sangsi oleh Hakim setempat
d. wajib mengganti puasanya
e. wajib bayar kaffaraot/tebusan dengan memilih salah satu dari tiga ini;
1. memerdekakan budak
2. puasa 2 bulan berturut-turut (tidak boleh dipisah atau diselingi)
3. memberi makanan kepada 60 orang miskin (setiap kepala mendapat 1 mud [1 mud = 675 gr] )
Keterangan : kaffarot ini hanya wajib bagi suami saja, tidak bagi istri. Dan juga banyaknya kaffarot tergantung banyaknya hari.
6. Sampainya benda ke bagian dalam perut (lubang, rongga, termasuk otak) melalui jalan terus (lubang, perlintasan)
Keterangan : udara, bau makanan, dan angin tidak membatalkan puasa jika masuk kedalam perut.
Perhatian : yang dimaksud jalan terus terbuka adalah mulut, hidung, kuping, dan lubang kemaluan.
Kalau masuknya benda tersebut melalui pori-pori seperti meminyaki/melumasi tubuh dengan minyak yang dapat diserap melalui pri-pori kulit maka tidak membatalkan puasa.
Permasalahan seputar ini;

6.1. Hukum jarum suntik, diperbolehkan dalam keadaan terpaksa.
Jika benda yang disuntikkan itu cairan yang bergizi (mengenyangkan) seperti cairan infus dls, maka dapat membatalkan puasa.
Jika bukan berupa cairan yang bergizi maka ada dua pendapat
1. Jika melalui urat/pembuluh darah vena maka batal puasanya
2. Jika melalui otot, maka tidak membatalkan
6.2. Hukum dahak / lendir / riak
1. Jika sampai pada batas zahir (tempat keluarnya huruf ghoin atau kho) kemudian ditelan, maka puasanya batal.
2. Jika sampai pada batas batin (tempat keluarnya huruf ha’ atau hamzah) kemudian ditelan, maka tidak membatalakan puasa.
6.3. Hukum menelan ludah
Tidak membatalkan puasa dengan 3 kriteria;
1. Ludahnya bersih, tidak bercampur dengan darah atau zat lain seperti dahak dan darah
2. Ludahnya suci, tidak kena najis
3. Ludahnya dari lambung (termasuk ludah yang ada di area mulut)
Perhatian : jika menelan ludah yang sudah keluar dari area mulut, seperti yang menempel pada bibir terus ditelan, maka batal puasanya.
6.4. Hukum masuknya air kedalam perut pada saat mandi dengan tanpa disengaja
1. Jika mandinya disyariatkan seperti mandi wajib (junub) atau mandi sunnah (mandi untuk shalat Jum’at), maka puasanya tidak batal dengan catatan airnya di alirkan/tuangkan dari atas kepala. Dan batal jika mandinya dengan cara tenggelam (menceburkan diri kedalam kolam air)
2. Jika mandinya tidak disyariatkan seperti mandi untuk mendinginkan badan dan mandi biar bersih, maka batal puasanya baik dengan cara di alirkan/tuangkan atau menceburkan diri kedalam kolam air sekalipun masuknya air tanpa disengaja.
6.5. Haukum masuknya air pada tenggorokan pada saat berkumur (dan menghirup air)
Jika berkumurnya di syariatkan seperti pada saat wudlu, mandi wajib atau mandi sunnah, maka puasanya batal apabila berkumur dengan keras, tidak batal jika dengan cara pelan.
Jika berkumurnya tidak di syariatkan seperti berkumur pada bilangan yang keempat atau diluar wudlu dan mandi maka batal puasanya dalam kondisi apapun (baik dengan keras, atau dengan cara pelan)

7. إِسْتِمْنَاءْ (melakukan masturbasi/onani) baik dengan tangan sendiri, tangan istri, menghayal, menonton, atau melakukan persetubuhan, kesemuanya itu dapat membatalkan puasa.
Tambahan :
Hukum mencium ; haram jika dapat membangkitkan syahwat, akan tetapi puasanya tidak batal kecuali sampai keluar sperma gara-gara mencium.
(hukum disini dalam puasa wajib. Tidak haram kalau puasa sunnah)
8. إِسْتِقَاءَة (pemuntahan) ; dapat membatalkan puasa sekalipun sedikit keluarnya.
Muntah : adalah makanan yang sudah melintasi/melewati tenggorokan kemudian keluar lagi.
Perhatian : jika keluarnya tidak disengaja seperti mabok diperjalanan maka puasanya tidak batal dan berkewajiban membersihkan area mulut yang kena najis dengan cara berkumur.



Pembagian ifthor (membatalkan puasa/berbuka sebelum waktunya/boleh tidak puasa)
1. Wajib qodlo’ + Fidyah (Mud)
a. Ifthor karena hawatir hanya pada janin atau pada bayi yang sedang disusui saja, maka wajib qodlo’ (mengganti puasa yang ditinggalkan) + Mud (). Jika Ifthornya karena hawatir pada diri dan anaknya maka wajib qodlo’ saja (tidak usah bayar mud).
b. Ifthor (tidak puasa) karena mengakhirkan (qodlo’) mengganti puasa sampai tiba bulan Romadlon selanjutnya pada hal dia mampu, maka;
 Jika tidak ada uzur syar’ie maka wajib bayar fidyah + qodlo’.
 Jika ada uzur syar’ie seperti perjalan, sakit, menyusui, lupa niat dimalam hari, atau tidak tahu kalau itu membatalkan, maka tidak usah bayar fidyah namun tetap mengganti puasa yang ditinggalkan (qodlo’).
Keterangan :
Fidyah : adalah mengeluarkan 1 mud makanan pokok sebuah Negara (beras, Indonesia) setiap hari (banyaknya mud tergantung banyaknya puasa yang ia tinggalkan).
2. Wajib qodlo’ tidak Fidyah
Seperti ifthor karena semaput, lupa niat, dan orang yang yang melampaui batas dengan ifthornya dengan selain jimak.
3. Wajib Fidyah tidak qodlo’
Seperti orang tua rent dan orang sakit yang tidak kunjung sembuh (sakit menahun/tidak diharapkan sembuhnya)
4. Tidak wajib qodlo’ dan Fidyah
Seprti tidak puasa karena gila.




6 orang dibawah ini wajib mengganti puasanya (qodlo’), disamping itu wajib imsak (menahan tidak makan sampai tiba azan Maghrib) walaupun puasanya tidak dianggap.
1. Orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa ada alasan syar’ie
2. Orang yang meninggalak niat dimalam hari sekalipun lupa
3. Orang yang masih sahur, dirinya menduga masih belum masuk waktu Subuh, dan ternyata sudah masuk waktu azan Subuh
4. Orang yang berbuka puasa, dirinya menduga sudah azan Maghrib padahal belum
5. Puasa pada tanggal 30 Sya’ban, dia meyakini hari itu sudah masuk bulan Ramadlan
6. Kemasukan air dengan cara yang tidak disyariatkan seperti berkumur, menghirup air, dan mandi biasa


Kondisi dibawah ini tidak dapat membatalkan puasa bila ada benda masuk kebagian dalam perut (lubang, rongga, termasuk otak) melalui jalan terus (lubang, perlintasan);
1. Karena lupa
2. Karena tidak tahu bahwa hal itu membatalkan’karena dipaksa
3. Ludah bersih yang berputar di area mulut
4. Debu jalanan
5. Serbuk tepung yang berterbangan
6. Lalat terbang yang masuk tanpa disengaja


Permasalahan-permasalahan yang seputar puasa
1. Jika anak kecil masuk usia dewasa (baligh), orang yang bepergian bermukim, atau orang yang baru sembuh dari penyakitnya, dan mereka semua dalam keadaan puasa, maka haram bagi mereka berbuka dan wajib imsak (menahan makan minum samapai azan Maghrib). Walaupun seperti itu, puasa mereka tetap dianggap.
2. Jika telah suci wanita yang lagi menstruasi/haid atau nifas, sudah sembuh orang yang gila, masuk Islam orang kafir, yang keajadiannya semua itu disiang hari bulan Ramadlan, maka disunahkan bagi mereka imsak, dan tidak usah qodlo’ bagi orang gila dan orang kafir (sementara bagi orang haid dan nifas tetap wajib qodlo’)
3. Orang murtad, maka wajib mengganti puasa yang ia tinggalkan di waktu dia murtad sekalipun dia gila pada saat itu.
4. Bila seseorang meninggal dan dia mempunyai hutang puasa Romadlan atau hutang kaffarot, padahal dia mampu dan bisa mengganti semasa hidupnya namun tidak dilakukan sampai ia meninggal, maka boleh bagi walinya (termasuk kerabat sekalipun buka ahli waris) untuk menebus / menggantikan puasanya atau pilihan yang kedua yaitu mengeluarkan 1 mud setiap hari. Apabila tidak bisa maka tidak usah bayar fidyah dan qodlo’. Demikian ini bila orang yang meninggal tersebut tidak sembrono dalam ifthornya. Apabila sembrono maka wajib bayar fidyah dan qodlo’.
5. Untuk puasa sunnat, boleh berbuka sebelum waktunya sekalipun tidak ada uzur (tapi makruh, dan sunnah pula di ganti). Tapi kalau puasa wajib tetap tidak boleh
6. Haram wishol (puasa dua hari berturut-turut tanpa makan dan minum)
7. Wajib dengan segera, mengganti puasa wajib yang ditinggalkan apabila berbukanya tanpa ada uzur, dan wajib juga tapi perlahan bila ada uzur, seperti perjalanan jauh, sakit, lupa niat dimalam hari


7.5.13

Debat Al-Buti dengan Al-alBani



Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih. Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka

4.5.13

PRAKTIK KONSUMSI DALAM ISLAM


Praktik konsumsi di sini dimaksudkan agar manusia mensyukuri nikmat Allah yang begitu melimpah, bagaimana prosesnya mulai dari barang mentah (raw material) sampai barang jadi (immaterial). Dari proses inilah, manusia akan tahu dan bisa mengambil hikmah bahwa suatu barang yang kita konsumsi butuh banyak tangan untuk mengolahnya sehingga kita tinggal menerima jadinya. Itulah cara Allah  melibatkan banyak pihak melalui sifat Rahman-Rahim-Nya sehingga para pekerja begitu semangat mengolahnya yang pada ujungnya, kita juga bisa menikmatinya. Subahnallah.
Ambil contoh jenis makanan pokok orang Indonesia (beras), bagaimana Allah melibatkan banyak pihak, awan berkolaborasi dengan angin untuk mengantarkan air hujan keseluruh penjuru bumi. Itupun Allah mengatur sedemikian rupa sehingga ada pergantian musim (musim dingin dan panas). Kalaupun tidak ada hujan, Allah memerintahkan gunung untuk mem-back up air-air untuk di saving sehingga mengalirlah air itu berangsur-angsur kesawah-sawah yang dibutuhkan.
Itu semua masih butuh serapan energy ultraviolet melalui sinar matahari (untuk menghangatkan, mematangkan, dan mengeraskan) dan sinar bulan (untuk pembasahan).
Mahasuci Allah SAW, sungguh seluruh ciptaan-Nya tidaklah sia-sia dan permainan belaka.
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِيْنَ
Oleh karena itu, makanan pokok kita (beras) tidak akan sempurna kecuali melibatkan air, udara, matahari, rembulan, dan bintang, serta cakrawala yang digerak-gerakkan oleh para Malaikat langit dan seterusnya yang kesemuanya itu adalah ciptaan Allah.
Belum lagi prosesnya, kadang bahkan kita tidak tahu siapa yang memeroduksinya. Kita hanyalah menerima barang jadi. Bahkan mereka berjauhan dan tidak saling mengenal dengan kita. Tapi itulah cara Allah melunakkan hati mereka para pedagang dengan menguasakan kepada mereka hasrat cinta harta dan ingin mendapatkan keuntungan yang banyak, pada hal hasil yang mereka kumpulkan belum tentu menjamin dirinya, bisa jadi dicuri, kena banjir, atau mereka meninggal disalah satu daerah. Perhatikan bagaimana Allah menguasai hati mereka.
(الغزالي : إحياء علوم الدين/ جز 4/ ص 115)